La Tahzan
Jangan bersedih!
Jangan bersedih!
Bersedih: Tak Diajarkan Syariat dan Tak Bermanfaat
Bersedih itu sangat dilarang. Ini ditegaskan dalam firman Allah yang
berbunyi,
{Dan, janganlah kamu bersikap lemah dan jangan (pula) bersedih hati.}
(QS. Ali 'Imran: 139)
"Janganlah bersedih atas mereka" (kalimat ini disebut berulangkali dalam
beberapa ayat al-Quran) dan,
{Janganlah kamu bersedih sesungguhnya Allah selalu bersama kita.}
(QS. At-Taubah: 40)
Adapun firman Allah yang menunjukkan bahwa kesedihan (bersedih)
itu tak bermanfaat apapun adalah,
{Niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih
hati.}
(QS. Al-Baqarah: 38)
Bersedih itu hanya akan memadamkan kobaran api semangat,
meredakan tekad, dan membekukan jiwa. Dan kesedihan itu ibarat
penyakit demam yang membuat tubuh menjadi lemas tak berdaya. Mengapa
demikian?
Tak lain, karena kesedihan hanya memiliki daya yang menghentikan
dan bukan menggerakkan. Dan itu artinya sama sekali tidak bermanfaat
bagi hati. Bahkan, kesedihan merupakan satu hal yang paling disenangi
setan. Maka dari itu, setan selalu berupaya agar seorang hamba bersedih
untuk menghentikan setiap langkah dan niat baiknya. Ini telah
diperingatkan Allah dalam firman-Nya,
{Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari setan supaya orang-orang
mukmin berduka cita.}
(QS. Al-Mujadilah: 10)
Syahdan, Rasulullah s.a.w. melarang tiga orang yang sedang berada
dalam satu majelis demikian, "(Janganlah dua orang di antaranya) saling
melakukan pembicaraan rahasia tanpa disertai yang ketiga, sebab yang demikian
itu akan membuatnya (yang ketiga) berduka cita." Dan bagi seorang mukmin,
kesedihan itu tidak pernah diajarkan dianjurkan. Soalnya, kesedihan
merupakan penyakit yang berbahaya bagi jiwa. Karena itu pula, setiap muslim
diperintahkan untuk mengusirnya jauh-jauh dan dilarang tunduk kepadanya.
Islam juga mengajarkan kepada setiap muslim agar senantiasa melawan dan
menundukkannya dengan segala pelaratan yang telah disyariatkan Allah
s.w.t.
Bersedih itu tidak diajarkan dan tidak bermanfaat. Maka dari itu,
Rasulullah s.a.w. senantiasa memohon perlindungan dari Allah agar
dijauhkan dari kesedihan. Beliau selalu berdoa seperti ini,
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa sedih dan duka cita."
Kesedihan adalah teman akrab kecemasan. Adapun perbedaannya
antara keduanya adalah manakala suatu hal yang tidak disukai hati itu
berkaitan dengan hal-hal yang belum terjadi, ia akan membuahkan
kecemasan. Sedangkan bila berkaitan dengan persoalan masa lalu, maka ia
akan membuahkan kesedihan. Dan persamaannya, keduanya sama-sama
dapat melemahkan semangat dan kehendak hati untuk berbuat suatu
kebaikan.
Kesedihan dapat membuat hidup menjadi keruh. Ia ibarat racun berbisa
bagi jiwa yang dapat menyebabkannya lemah semangat, krisis gairah, dan
galau dalam menghadapi hidup ini. Dan itu, akan berujung pada
ketidakacuhan diri pada kebaikan, ketidakpedulian pada kebajikan,
kehilangan semangat untuk meraih kebahagian, dan kemudian akan
berakhir pada pesimisme dan kebinasaan diri yang tiada tara.
Meski demikian, pada tahap tertentu kesedihan memang tidak dapat
dihindari dan seseorang terpaksa harus bersedih karena suatu kenyataan.
Berkenaan dengan ini, disebutkan bahwa para ahli surga ketika memasuki
surga akan berkata,
{Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami.}
(QS. Fathir: 34)
Ini menandakan bahwa ketika di dunia mereka pernah bersedih
sebagaimana mereka tentu saja pernah ditimpa musibah yang terjadi di luar
ikhtiar mereka. Hanya, ketika kesedihan itu harus terjadi dan jiwa tidak
lagi memiliki cara untuk menghindarnya, maka kesedihan itu justru akan
mendatangkan pahala. Itu terjadi, karena kesedihan yang demikian
merupakan bagian dari musibah atau cobaan. Maka dari itu, ketika seorang
hamba ditimpa kesedihan hendaknya ia senantiasa melawannya dengan
doa-doa dan sarana-sarana lain yang memungkinkan untuk mengusirnya.
{Dan, tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datangkepadamu,
supaya kamu memberi mereka kendaraaan, lalu kamu berkata: "Aku tidak
memperoleh kendaraan untuk membawamu", lalu mereka kembali sedang mata
mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh
apa yang akan mereka nafkahkan.}
(QS. At-Taubah: 92)
Demikianlah, mereka tidaklah dipuji dikarenakan kesedihan mereka
semata. Tetapi, lebih dikarenakan kesedihan mereka itu justru
mengisyaratkan kuatnya keimanan mereka. Pasalnya, kesedihan mereka
berpisah dengan Rasulullah adalah dikarenakan tidak mempunyai harta
yang akan dibelanjakan dan kendaraan untuk membawa mereka pergi
berperang. Ini merupakan peringatan bagi orang-orang munafik yang tidak
merasa bersedih dan justru gembira manakala tidak mendapatkan
kesempatan untuk turut berjihad bersama Rasulullah.
Kesedihan yang terpuji — yakni yang dipuji setelah terjadi — adalah
kesedihan yang disebabkan oleh ketidakmampuan menjalankan suatu
ketaatan atau dikarenakan tersungkur dalam jurang kemaksiatan. Dan
kesedihan seorang hamba yang disebabkan oleh kesadaran bahwa kedekatan
dan ketaatan dirinya kepada Allah sangat kurang. Maka, hal itu menandakan
bahwa hatinya hidup dan terbuka untuk menerima hidayah dan cahaya-
Nya.
Sementara itu, makna sabda Rasululllah dalam sebuah hadis shahih
yang berbunyi, "Tidaklah seorang mukmin ditimpa sebuah kesedihan, kegundahan
dan kerisauan, kecuali Allah pasti akan menghapus sebagian dosa-dosanya,"
adalah menunjuk bahwa kesedihan, kegundahan dan kerisauan itu
merupakan musibah dari Allah yang apabila menimpa seorang hamba, maka
hamba tersebut akan diampuni sebagian dosa-dosanya. Dengan begitu, hadits
ini berarti tidak menunjukkan bahwa kesedihan, kegundahan dan kerisauan
merupakan sebuah keadaan yang harus diminta dan dirasakan.
Bahkan, seorang hamba justru tidak dibenarkan meminta atau
mengharap kesedihan dan mengira bahwa hal itu merupakan sebuah ibadah
yang diperintahkan, diridhai atau disyariatkan Allah untuk hamba-Nya.
Sebab, jika memang semua itu dibenarkan dan diperintahkan Allah, pastilah
Rasulullah s.a.w. akan menjadi orang pertama yang akan mengisi seluruh
waktu hidupnya dengan kesedihan-kesedihan dan akan menghabiskannya
dengan kegundahan-kegundahan. Dan hal seperti itu jelas sangat tidak
mungkin. Karena, sebagaimana kita ketahui, hati beliau selalu lapang dan
wajahnya selalu dihiasi senyuman, hatinya selalu diliputi keridhaan, dan
perjalanan hidupnya selalu dihiasi dengan kegembiraan.
Memang, dalam hadist Hindun ibn Abi Halah tentang sifat Nabi s.a.w.
disebutkan bahwa, "Sesungguhnya, dia selalu bersedih". Namun, hadist ini
ternyata kurang dapat dipercaya, sebab dalam silsilah perawinya terdapat
seorang perawi yang tidak dikenal. Selain itu, muatan hadits inipun jelas
sangat bertentangan dengan realitas kehidupan Rasulullah s.a.w.
Bagaimana mungkin Rasulullah dikatakan selalu dirundung kesedihan?
Bukankah Allah telah melindungi beliau dari kesedihan yang berkaitan
dengan urusan keduniaan dan semua unsur-unsurnya, melarangnya agar
tidak bersedih atas perilaku orang-orang kafir, dan mengampuni semua dosadosanya
yang telah berlalu maupun yang belum terjadi? Nah, dari manakah
sumber kesedihan itu? Bagaimana pula kesedihan itu dapat menembus pintu
hati beliau? Dan dari jalan manakah kesedihan itu dapat menyusup ke dalam
lubuk hatinya? Bukankah beliau s.a.w. senantiasa hatinya diliputi dzikir,
jiwanya dialiri semangat istiqamah, pikirannnya selalu dibanjiri hidayah
rabbaniyah, dan hatinya senantiasa tenteram dengan janji Allah serta rela
dengan semua ketentuan dan perbuatan-Nya? Bahkan, Rasulullah adalah
orang yang terkenal ramah dan murah senyum sebagaimana dilukiskan oleh
salah satu gelarnya sebagai "seseorang yang murah senyum ."
Siapa saja membaca, menghayati, dan mendalami sejarah perjalanan
hidup beliau dengan seksama dan menyeluruh, maka ia akan mengetahui
bahwa Rasulullah s.a.w. diturunkan ke dunia ini untuk menghancurkan
kebatilan, mengusir kesuntukan, kegelisahan, kesedihan dan kecemasan,
serta membebaskan jiwa dari tekanan keragu-raguan, kebingungan,
kegundahan dan keguncangan. Bersamaan dengan itu, beliau juga diutus
untuk menyelamatkan jiwa manusia dari segala bentuk hawa nafsu yang
membinasakan. Maka begitulah, betapa banyaknya karunia Allah yang telah
dianugerahkan kepada manusia.
Ada sebuah hadist menyebutkan bahwa, "Sesungguhnya Allah sangat
mencintai hati yang senantiasa bersedih." Namun, hadist ini ternyata tidak
memiliki sanad (jalur periwayatan) dan perawi yang jelas, alias kurang
dapat dipercaya. Singkatnya, hadist ini jelas kurang dapat
dipertanggungjawabkan keshahihannya. Selain itu, hadist ini juga tidak
dapat dikategorikan shahih karena sangat bertentangan dengan ajaran agama
dan tuntunan syariat. Dan kalau memang khabar (hadist) itu akan dianggap
shahih, maka penjelasannya adalah demikian: kesedihan itu adalah salah
satu musibah dari Allah yang ditimpakan kepada hamba-Nya untuk
mengujinya. Artinya, jika hamba tersebut mampu menghadapinya dengan
kesabaran, maka sesungguhnya Allah mencintai kesabaran orang tersebut
dalam menghadapi cobaan itu.
Demikianlah, maka merupakan kesalahan besar bagi orang-orang yang
memuja kesedihan, senantiasa berusaha menciptakan kesedihan, dan
mencoba membenar-benarkan kesedihan mereka dengan dalih bahwa syariat
telah menganjurkan dan memandangnya sebagai sesuatu yang baik. Sebab,
pada kenyataannya dalil-dalil syariat melarang hal itu. Bahkan, syariat justru
memerintahkan setiap manusia agar tidak bersedih dan selalu ceria.
Hadits lain menyebutkan, "Jika Allah mencintai seorang hamba, maka
Dia akan memancangkan sebuah gemuruh ratapan di dalam hatinya. Dan apabila
Dia membenci seorang hamba, maka Dia akan menanamkan seruling nyanyian
di dalam dadanya."
Memang, hadist ini bersumber dan berasal dari Israiliyat (mitos Bangsa
Israel). Ada pula yang mengatakan bahwa hadits ini termaktub dalam Taurat.
Meski demikian, perkataan ini memiliki pesan makna yang benar.
Sebagaimana sering kita lihat, orang mukmin akan senantiasa bersedih atas
dosa-dosa yang pernah dilakukannya, sementara orang yang durhaka akan
senantiasa lalai, tidak pernah serius, dan berdendang kegirangan justru
karena dosa-dosanya. Dan kalaupun ada kesedihan yang menimpa orangorang
salih, maka itu tak lebih dari sebuah penyesalan terhadap kebaikankebaikan
yang terlewatkan, ketidakmampuan mereka mencapai derajat yang
tinggi dan kesadaran bahwa mereka telah melakukan banyak kesalahan.
Demikianlah, alasan yang mendasari kesedihan ini berbeda dengan alasan
yang mendasari kesedihan orang-orang yang durhaka. Mereka bersedih
karena tidak mendapatkan keduniaan, keindahan, dan kenikmatan
duniawi. Kesedihan, kegundahan dan kegelisahan mereka adalah karena
keduniaan, untuk keduniaan dan di jalan menuju keduniaan.
Dalam sebuah Firman-Nya, Allah menceritakan keadaan seorang nabi
dari Bani Israel demikian,
{Dan, kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang
yang menahan amarahnya (kepada anak-anaknya).}
(QS. Yusuf: 84)
Ayat ini mengabarkan tentang kesedihan Nabi Ya'qub saat harus
kehilangan anak yang menjadi kekasihnya. Ini merupakan kabar bahwa
cobaan tersebut sama beratnya dengan musibah atau ujian yang dirasakan
oleh seseorang saat dipisahkan dengan buah hatinya. Betapapun, ayat di
atas hanya sekadar memberi kabar dan lukisan tentang beratnya cobaan
seorang nabi. Dan itu bukan berarti bahwa kesedihan seperti itu
diperintahkan atau dianjurkan. Bahkan justru sebaliknya, kita diperintahkan
untuk ber-isti'adzah (memohon perlindungan) kepada Allah dari segala
kesedihan. Sebab, bagaimanapun kesedihan adalah lakasana awan tebal,
malam pekat yang panjang, dan aral panjang yang melintang di tangah jalan
ke arah kemuliaan.
Selain Abu Utsman al-Jabari, semua ahli sufi sepakat bahwa bersedih
karena perkara duniawi itu tidak terpuji. Menurut Abu Ustman, kesedihan
itu —apapun bentuknya— adalah sebuah keutamaan dan tambahan
kebajikan bagi seorang mukmin, yakni dengan syarat bila kesedihan itu
bukan dikarenakan suatu kemaksiatan. la juga mengatakan, "Bahwa kalau
kesedihan itu tidak diwajibkan secara khusus, maka ia diwajibkan sebagai
sarana mensucikan diri."
Syahdan, ada pula yang berkata, "Tidak diragukan lagi bahwa
kesedihan merupakan ujian dan cobaan dari Allah sebagaimana halnya
penyakit, kegundahan, dan kegalauan. Namun jika dikatakan bahwa
kesedihan adalah tingkatan yang harus dilalui seorang sufi adalah tidak
benar."
Atas dasar itu, sebaiknya Anda berusaha untuk senantiasa gembira
dan berlapang dada. Jangan lupa memohon kepada Allah agar selalu diberi
kehidupan yang baik dan diridhai, kejernihan hati, dan kelapangan pikiran.
Itulah kenikmatan-kenikmatan di dunia. Betapapun, sebagian ulama
mengatakan bahwa di dunia ini terdapat surga, dan barangsiapa tidak pernah
memasuki surga dunia itu, maka ia tidak akan masuk surga akhirat.
Allah adalah satu-satunya Dzat yang pantas kita mohon agar
melapangkan hati kita dengan cahaya iman, menunjukkan hati kepada jalan-
Nya yang lurus, dan menyelamatkan kita kehidupan yang susah dan
menyesakkan.
:La TahzanPenulis: DR. 'Aidh al-Qarni
Edisi Indonesia:
La Tahzan
Jangan bersedih!
Penerjemah: Samson Rahman
Penyunting: Syamsuddin TU & Anis Maftukhin
Edisi Indonesia:
La Tahzan
Jangan bersedih!
Penerjemah: Samson Rahman
Penyunting: Syamsuddin TU & Anis Maftukhin
semoga bermanfaat:Amin