waktu saya masih mahasiswa, bisa makan nasi alo (semacam nasi gila) seharga tujuh ribu saja rasanya luar biasa. pada kesempatan spesial, saya akan memilih menu sate setengah porsi--dan itu sangatlah mewah. saat-saat itu, standar senang dan bahagia saya sangat sederhana.
mungkin juga, itu karena saya nggak kenal makanan-makanan yang kelewat mahal. pilihan tidak banyak tapi tidak pernah terasa kurang atau membosankan.
sekarang saya sudah berpenghasilan. sudah bisa pakai baju yang lebih bagus, pakai skincare yang lebih oke, punya gadget yang lebih mumpuni, memilih makanan dari resto-resto. tetapi hei, mengapa rasanya tidak se-wah dulu ya? makanan enak mahal biasa saja nikmatnya. bermenit-menit bingung ingin pesan apa melalui online food delivery, ujung-ujungnya masak telor ceplok dengan kecap. mengirit iya, tetapi lebih besar karena bosan dengan pilihan yang ada.
saya pikir-pikir, punya standar bahagia yang sederhana itu justru anugerah. tidak punya banyak keinginan duniawi itu anugerah. tidak memimpikan benda-benda yang kalau dipikir-pikir manfaatnya tidak seberapa itu anugerah.
maka, yang menjadi tantangannya adalah bagaimana agar kita tetap punya standar bahagia sederhana.
gaya hidup yang naik itu selalu nggak kerasa. oleh karena itulah, secara berkala kita perlu mengaudit gaya hidup kita sendiri. berlebihan nggak ya. bisa lebih sederhana saja nggak ya. seperlu itu nggak ya.
tidak, ini tidak hanya untuk berhemat dan menabung lebih banyak. maksudnya, ini supaya kita tetap mudah dibuat bahagia. kini saya berusaha mengajak diri sendiri. yuk, turun satu dua anak tangga gaya hidup untuk naik sangat banyak anak tangga bahagia.